Selasa, 28 Februari 2012

Kecantikan; Aset Pribadi Perempuan yang Dikomersialisasi


Wajah sebagai sesuatu fisik yang unik dan publik menjadi simbol utama diri seseorang. Unik karena wajah bersifat privat, tidak ada dua wajah yang seratus persen identik meski dari dua orang terlahir kembar. Publik karena wajahlah yang dijadikan identitas untuk memperkenalkan kepada orang lain, seperti pembuatan kartu identitas. Wajah juga menggambarkan ras, usia, suasana hati dan bahkan status sosial ekonomi. Wajah telah memasyarakat menjadi tolak ukur atas status diri dan membedakan prestise seseorang dengan orang lainnya.
Perkembangan makna sosial terhadap wajah sebenarnya telah melahirkan pula bentuk-bentuk eksploitasi terhadapnya. Makna wajah lebih identik dengan makna fisiknya. Bahwa wajah yang cantiklah yang bisa dikatakan bagus. Padahal cantik atau ganteng itu sendiri sangat subjektif. Nilai kecantikan telah dijadikan eksploitasi ekonomi secara besar-besaran terutama oleh para kapitalisme yang bergerak di bidang kosmetik dan alat-alat kecantikan. Sehingga merias (fisik) menjadi kebutuhan dasar manusia untuk memperbaiki diri. Industri kosmetik ini tentunya juga tidak dapat dipisahkan dengan industri lainnya seperti pakaian, industri alat olahraga, mutivitamin dan lain-lain yang semuanya berorientasi kepada perbaikan fisik semata. Industri ini jelas telah mengkonstruk manusia (konsumen) untuk membeli produk-produk tersebut demi pertimbangan estetik yang diperlukan untuk penampilan diri secara fisik dan lebih parah lagi hanya untuk mengikuti tren dan mode yang sedang berkembang.
Adanya nilai kecantikan yang hanya diukur oleh penampilan fisik semata ini telah melahirkan gejala sosial, pertentangan, permusuhan dan bahkan rasis. Betapa tidak kisah Yusuf dan Zulaikha, Laela dan Majnun, telah melahirkan kisah penderitaan yang abadi dalam lubuk hati umat manusia. Seseorang yang berpenampilan menarik lebih cepat mendapat justifikasi kebenaran dari orang-orang di sekelilingnya. Maka ia akan lebih mudah mendapatkan teman, melakukan proses komunikasi dan sebagainya. Tentang gejala ini telah ada studi yang dilakukan yang menyatakan bahwa “ Siswa berfikir bahwa orang-orang yang berpenampilan baik umumnya lebih sensitif, baik hati, menarik, kuat, cerdik, rapi, berjiwa sosial, ramah dan menyenangkan, daripada orang-orang yang kurang baik. Para siswa juga setuju bahwa mereka yang cantik secara seksual lebih responsif daripada mereka yang tidak menarik” (Berscheid dan Walster, 1972: 46,74).
Konstruk pemahaman yang keliru ini juga turut diprakarsai oleh media periklanan yang selalu menampilkan bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang tidak jerawatan, berkulit putih, lembut kulitnya, dan tentu selalu memakai produk tertentu yang diiklankan. Sebenarnya itu adalah proses penyebaran virus diskriminasi estetik yang secara perlahan-lahan menjadi norma dan budaya di tengah masyarakat yang majemuk. Selain Iklan, film atau sinetron yang selalu berkaca pada budaya materialistis dan hedonis juga turut mendidik masyarakat agar menerima menjangkitnya virus diskriminasi estetik tersebut. Manusia kemudian hanya dihargai sebatas fisiknya saja, padahal substansi manusia tidak hanya sebatas itu. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani, keduanya harus berfungsi secara optimal. Mitos kecantikan wajah dan tubuh manusia hanyalah topeng semu dan dia tidak dapat menunjukkan eksistensi dan identitas diri manusia yang sesungguhnya. Karena ukuran ragawi adalah sementara dan dapat musnah. Sementara kecantikan rohani yang dapat melahirkan mulianya budi pekerti adalah nilai tertinggi atas kualitas hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar